Penyebaran berita hoax pada akhir akhir ini membuat para pengguna internet atau nitizen risau. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Whatsapp di timelinenya banyak muncul berita berita yang tidak bersumber sama sekali. Sehingga impact yang bisa ditimbulkan hoax bisa membuat khalayak bingung, pembuang buang waktu, pengalihan isu, pembohongan publik bahkan memicu kepanikan sosial.
Menjelang kontestasi Politik pada tahun 2019 mendatang tentu saja permasalahan hoax jadi kian marak. Berita palsu kian bertebaran, hingga mengaduk aduk khalayak bingung tentang kebenaran.
Menanggapi permasalahan tersebut, salah satu Politisi. Budiman Sujatmiko saat berkunjung di Kabupaten Ngawi mengatakan bahwa Jika kita pelajari ciri berita hoax, biasanya berbumbu provokatif, dan disertai dengan isu kekinian. Judulpun sensasional hingga dapat memicu emosional para pembaca. Dan cara yang ampuh untuk mengetahui berita hoax adalah dengan memeriksa kebenaran suatu berita, sebelum mempercayai sebuah berita. (8/11)
“Politik saat ini telah berubah. Saya berharap masyarakat mulai merubah juga pemahaman politik kekinian. Keberadaan teknologi telah menggeser value dalam masyarakat. “Fakta bisa kalah dengan kebohongan yang dilakukan teknologi infografis. Logikanya begini, di Ngawi jalan Siliwangi gg Puntodewo ada jalan, namun dengan kekuatan infografis seperti medsos yang terus menerus memberitakan bahwa di gang Puntodewo tidak ada jalan, bisa membuat pembacanya menyimpulkan memang di gang Puntodewo tidak ada jalan. Fakta yang dikalahkan oleh kebenaran yang diciptakan oleh kebohongan yang terus diulang melalui infografis negatif,” kata Budiman.
Dalam kontestasi politik saat ini infografis yang menggunakan Big Data Analysis telah diterapkan. Impact Hoax bisa menjadi indikator pemetaan wilayah. Misal Managemen isu yang dikemas di medsos, atau media informasi sengaja disebarkan, dari feedbacknya bisa menjadi indikator pemetaan untuk model approach ( pendekatan ).
Lebih lanjut sosok poitikus akademik ini menjelaskan bahwa sebenarnya pemakaian Big Data Analysis ini telah dilakukan pada pemilu di beberapa negara, seperti United States ( US ), Brasil, Afrika. Dan model kampanyenya dengan menggunakan sentimen agama, ras, kemiskinan untuk memprovokasi lebih memilih kelompok atau tokoh.
“Pada pemilu di Negara Negara tersebut yang disasar adalah otak reptil atau otak emosi. Jika terjadi bisa menghilangkan empati, teposliro sehingga cara berfikir kita sampai pada titik zero ( nol ). Misal orang memilih Trump karena sentimen, bukan karena adu program atau gagasan,” jelas Budiman.
Disinggung terkait pemakaian Big data Analysis di Indonesia, Budiman dengan tegas menyampaikan bahwa jika model ini diterapkan untuk hal positif, bisa sangat bermanfaat.” Saat ini saya getol memperjuangkan Badan Usaha Milik Desa ( Bumdes ) bisa menjadi Big data Analysis. Dengan menerapkan pola ini Bumdes bisa melakukan kajian untuk program dan kegiatan apa yang cocok. Ini survey digital, misal dengan melihat animo masyarakat pada jasa online untuk belanja makanan, kita bisa tahu jenis makanan apa yang banyak disukai di wilayah A, B atau C,” kata tokoh yang sangat berani dalam diskusi publik ini. ( By )